Oleh H. HATOMI
Pimpinan media sumber berita
Focusberita.com
Langkah pembangunan pabrik peleburan timah di Batam menimbulkan banyak tanda tanya besar, terutama bagi masyarakat Bangka Belitung — daerah penghasil timah terbesar di Indonesia.
Pertanyaan yang menggelitik publik:
mengapa pabriknya dibangun jauh di Batam, sementara bahan bakunya diambil dari Babel?
Secara logika industri, pusat pengolahan semestinya dibangun di dekat sumber bahan baku. Itu efisien, menghemat biaya transportasi, dan membuka lapangan kerja langsung bagi masyarakat lokal.
Namun, kenyataan berbeda:
Babel yang sejak zaman kolonial dikenal sebagai “tanah timah” justru hanya menjadi penonton. Timah diangkut keluar, dilebur dan diproses di luar daerah.
Apakah Bangka Belitung sudah tidak kondusif bagi pembangunan pabrik?
Atau ada kepentingan tersembunyi — “udang di balik batu” — di balik keputusan ini?
Beberapa pihak menilai, alasan “teknis” seperti kemudahan logistik dan akses ekspor di Batam hanyalah selimut manis dari kepentingan bisnis yang lebih besar.
Batam berada di jalur perdagangan internasional dan memiliki status kawasan ekonomi khusus (KEK), yang berarti insentif pajak dan bea masuk lebih ringan.
Tapi di sisi lain, Babel kehilangan nilai tambah ekonomi, kesempatan kerja, dan potensi pajak daerah yang seharusnya tumbuh dari industri hilir timah.
Yang lebih ironis, Babel menanggung kerusakan lingkungan akibat tambang, namun hasil ekonominya justru dinikmati daerah lain.
Ini seperti “penderitaan di rumah sendiri, kemakmuran di tempat orang lain.”
Jika alasan keamanan atau “iklim investasi” di Babel disebut belum kondusif,
pertanyaannya sederhana:
siapa yang membuatnya tidak kondusif?
Pemerintah daerah, pengusaha, atau justru permainan elite yang mengatur agar pusat keuntungan dipindahkan ke wilayah yang lebih menguntungkan secara politik dan ekonomi?
Pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan penjelasan terbuka. Rakyat berhak tahu siapa di balik keputusan ini, apa dasar ekonominya, dan bagaimana dampaknya bagi masa depan Babel.
Jangan sampai sumber daya alam yang menjadi berkah bagi daerah justru berubah menjadi kutukan karena kebijakan yang tidak berpihak.
Jika industri timah terus keluar dari Babel, maka kita sedang menyaksikan sebuah ironi:
daerah penghasil timah, tapi rakyatnya tetap hidup di tengah kemiskinan dan kerusakan alam.
Sudah saatnya masyarakat Bangka Belitung bertanya lebih keras: untuk siapa sebenarnya timah ini dikelola?
Social Header