Penulis Hatomi
Pimpinan Media Sumber Berita.
Focusberita.com
Focusberita.com Bangka Selatan.
Tertangkapnya tiga hakim karena menerima suap bukan lagi sekadar “oknum”. Ini bukan insiden tunggal. Ini adalah bukti telanjang bahwa sebagian aparat penegak hukum (APH) sudah bertransformasi menjadi pelindung dan pelaku korupsi itu sendiri.
Mereka yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan justru menjadi calo hukum.
Vonis bisa dinegosiasikan, keadilan bisa dibeli, dan nasib orang bisa ditukar dengan setumpuk uang haram. Apa bedanya lembaga peradilan hari ini dengan pasar gelap?
Pola permainan ini sudah terlalu sering terbongkar. Tapi tidak ada perubahan signifikan. Justru semakin hari, kolaborasi antara mafia hukum dan mafia uang semakin licin dan lihai. Aparat hukum yang korup membentuk simbiosis busuk dengan para pelaku kejahatan. Hukum dijadikan alat tukar, bukan alat tegak.
Masyarakat dipaksa menonton parodi keadilan, di mana hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara elite dan pelaku korupsi bisa menyulap ruang sidang jadi ruang tawar-menawar. Bukankah ini artinya negara ikut memelihara kejahatan secara sistemik?
Apakah negara ikut mengembangbiakkan para koruptor?
Tertangkapnya tiga hakim ini hanya permukaan dari gunung es. Di bawahnya, ada jaringan yang lebih besar, atasan yang tutup mata, kolega yang membisu, sistem yang membusuk. Pertanyaannya sekarang siapa yang berani membersihkan ruang peradilan ketika pengadilnya sendiri ternyata bagian dari sindikat?
Jika dibiarkan, negeri ini akan punya dua sistem hukum satu untuk mereka yang punya kuasa dan uang, satu lagi untuk kita—yang hanya bisa menonton sambil berharap keadilan bukan sekadar ilusi.
Semoga pemerintahan yang baru dapat segera mengambil langkah tegas untuk segera memberantas korupsi di Indonesia yang sudah berkembang biak menjamur disetiap lini.
Social Header